Melepaskan status siswa mungkin bagi
sebagian orang adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Memasuki gerbang yang
membawa mereka pada status baru, yaitu mahasiswa. Menjadi manusia dengan
berbagai warna, tergantung bagaimana memaknainya. Ada yang mengira, hidup
seorang mahasiswa hanya tentang jalan-jalan dan nongkrong. Sayangnya mahasiswa
ini hanya ada dalam FTV. Kehidupan dunia
perkuliahan yang sesungguhnya sangat jauh dari gambaran yang sering kita lihat
di FTV.
Gelar ‘maha’ yang mengekor dalam
status mahasiswa ini turut me-maha-kan pula tanggung jawabnya. Pertanyaannya
adalah, tanggung jawab untuk siapa? Tanggung jawab untuk apa? Tentu saja,
tanggung jawab utama seorang mahasiswa adalah kepada orang tuanya, yakni
belajar. Belajar agar mendapatkan IP bagus, belajar agar lulus tepat waktu,
belajar untuk mencari beasiswa, dan belajar untuk mendapatkan pekerjaan dengan
gaji tinggi. Lantas, kalau demikian apa bedanya mahasiswa dengan siswa? Maka
predikat ‘maha’ tersebutlah yang akan menjawabnya.
Ada sebuah amanah besar dari
masyarakat yang harus ditopang oleh tiap-tiap pundak mahasiswa. Amanah tersebut
tertuang dalam peran dan fungsi mahasiswa, yakni menjadi Agent of Change, Moral
Force, Sosial Control, serta Iron Stock. Peran dan fungsi ini berkaitan pula dengan
Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dimana
mahasiswa sebagai kaum intelek dituntut untuk mengabdi kepada masyarakat
berbekalkan pendidikan dan penelitian atas disiplin ilmu yang mereka peroleh
dari bangku kuliah. Yang kemudian menjadi pertanyaan, sudah sejauh mana kita
sebagai mahasiswa mengabdikan diri dan memberikan pengaruh dalam masyarakat?
Mahasiswa –dalam perspektif
masyarakat- adalah kaum terdidik yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih
nyata kepada lingkungan sekitarnya. Mahasiswa sebagai moral force menuntutnya
untuk menjadi manusia dengan integritas tinggi. Mahasiswa sebagai kaum intelek
harus mampu menjaga segala hal dalam dirinya, baik dari pemikiran, ucapan,
serta tingkah laku. Sebab mahasiswa seolah-olah menjadi ‘role model’ bagi
masyarakat. Kenyataannya, mahasiswa saat ini sering lupa bahwa dirinya
dijadikan panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Misalkan saja ketika sedang
‘aksi’ turun ke jalan, tujuan yang sesungguhnya mulia namun dibalut dengan tindak
anarkisme. Mahasiswa secara tidak sengaja justru menciptakan suatu stigma
negative atas dirinya sendiri. Hal ini
sangat bertentangan dengan peran fungsinya sebagai moral force bagi masyarakat.
Mahasiswa sebagai Sosial Control.
Idealisme merupakan modal utama yang harus dimiliki mahasiswa sebagai Sosial
Control. Mahasiswa dianggap sebagai manusia dengan idealisme yang belum
terkotori dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Idealisme dengan
tujuan murni untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Idealisme inilah yang
kemudian diharapkan mampu menjauhkan bangsa ini dari kepentingan-kepentingan
politik golongan tertentu. Namun yang kita temui justru banyak mahasiswa yang
prgamatis dan oportunis. Praktis, mencari keuntungan untuk diri sendiri, dan tidak
peduli atas apapun selain dirinya.
Mahasiswa sebagai Iron stock.
Menjadi generasi-generasi penerus yang akan mengemban keberlangsungan
bernegara. Disini mahasiswa harus jadi manusia dengan integritas tinggi dan
memiliki idealisme yang menjunjung tinggi kepentingan masyarakat dan negara
diatas kepentingan pribadinya. Cerdas, amanah, serta siap dengan segala kondisi
yang akan dihadapi seorang pemegang sistem kenegaraan.
Yang terakhir dalam peran fungsinya,
sekaligus yang akan saya bahas secara lebih mendalam adalah mahasiswa sebagai
Agent of Change. Mahasiswa sebagai Agent of Change, dimana mahasiswa diharapkan
mampu menjadi garda-garda penggagas perubahan. Mahasiswa sangat diharamkan
bersikap masa bodo dan tidak peduli terhadap segala dinamika dan permasalahan
yang dihadapi masyarakat. Jika menilik sejarah bangsa ini, berbagai peristiwa
besar telah didalangi oleh mahasiswa Indonesia sebagai upaya menuju perubahan
bangsa yang lebih baik. Bulan Mei tahun 1998 merupakan masa paling bersejarah
bagi mahasiswa Indonesia, dimana seluruh kaum intelek ini bersatu untuk melawan
segala ketidakadilan pemerintahan Orde Baru dan membawa Indonesia menuju era
reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi. Bandingkan dengan apa yang kita
(sebagai mahasiswa) lakukan saat ini? Perjuangan yang kita lakukan tidak perlu
menggadaikan nyawa layaknya senior-senior kita di tahun 1998. Tapi masih banyak
cendekiawan-cendekiawan bangsa ini yang seolah-olah tutup telinga dari segala
permasalahan masyarakatnya. Seolah-olah mereka berkata “aku tidak peduli selama
hal itu tidak menguntungkanku”. Padahal negara ini sedang sakit-sakitnya. KKN
menggerogoti pemerintahan membuat rakyat dihantam kemiskinan. Pendidikan yang
seharusnya menjadi jalan keluar, justru tersendat kemiskinan. Lantas, kita bisa
apa? Maka sesungguhnya yang mampu kita lakukan adalah cukup dengan menjadi
sedikit lebih peka. Peka untuk menoleh, peka untuk membuka mata, serta peka
untuk menajamkan pendengaran atas segala kondisi masyarakat dan bangsa ini.
Setiap insan mahasiswa dapat
memaknai peran dan fungsinya dengan cara yang berbeda namun dengan kewajiban
yang sama, yakni mengabdi. Mengabdikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dari
dalam kelas untuk menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat.
Sementara saya memaknai pengabdian
tersebut salah satunya adalah dengan pengajaran. “Tapi aku seorang engineer,
bukan guru. Tugasku bukan mengajar.” Mungkin kalimat ini akan muncul dalam
benak teman-teman sekalian. Bahkan pernah juga muncul dalam benak saya sendiri.
Namun perlu diketahui, mendidik tidak bisa disamakan dengan mengajar. Mengajar
adalah pekerjaan dan tugas seorang pengajar. Sekedar menyampaikan materi ilmu
pengetahuan. Biasanya dilakukan dalam situasi formal, berupa transfer ilmu.
Sementara mendidik merupakan serangkaian proses pengembangan potensi dengan
menekankan pada nilai-nilai moral dan kepribadian. Mengajar memang bukan tugas
kita, tapi mendidik adalah kewajiban bagi setiap manusia, khususnya manusia
yang pernah mengenyam pendidikan.
Mengutip perkataan Pak Anies
Baswedan bahwa “mendidik adalah kewajiban bagi setiap insan terdidik”. Maka hal
ini semakin memperjelas lagi tanggung jawab yang mengekor pada setiap langkah saya
sebagai seorang mahasiswa. Karena sesungguhnya
mencerdaskan anak bangsa bukan hanya tugas negara dan pemerintah saja. Namun
menjadi tanggung jawab moral bagi setiap insan terdidik. Apapun background
pendidikan yang kamu ambil, apapun disiplin ilmu yang kamu kuasai, serta apapun
bidang yang kamu geluti, selama kamu masih atau pernah menyandang predikat
sebagai seorang mahasiswa artinya kamu secara tidak langsung telah mengemban
amanah untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Terlebih lagi, dengan menjadi
mahasiswa artinya kita telah terpilih menjadi bagian istimewa dari sedikit
orang Indonesia yang mampu mengecap manisnya bangku kuliah. Sementara potret
pendidikan bangsa ini masih sangat memprihatinkan. Jangankan untuk menginjak
bangku perguruan tinggi, untuk sekedar sekolah dasar saja masih banyak
ketimpangan di berbagai daerah. Gedung sekolah yang reot termakan waktu, akses
dan jalan yang sulit ditempuh, serta sedikitnya tenaga pengajar menjadi
hambatan tersendiri bagi anak-anak bangsa di wilayah pelosok. Sedangkan di
tengah mewahnya kehidupan kota, masih ada anak-anak bangsa yang terpaksa putus
sekolah karena keadaan ekonomi keluarga. “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu
dustai?” seharusnya menjadi tamparan tersendiri bagi kita sebagai insan
istimewa yang cukup beruntung telah dirangkul pendidikan sampai perguruan
tinggi. Maka ribuan anak bangsa yang tidak mampu merasakan manisnya pendidikan
di bangku sekolah adalah dosa bagi kita setiap insan terdidik. Dosa karena tidak menjalankan amanah sebagai
insan terdidik dan dosa karena tidak menunjukkan rasa syukur sebagai insan
istimewa.
Dengan mendidik, kita mampu
menjalankan peran dan fungsi kita sebagai Agent Of Change. Karena dengan tangan
sendiri, kita mampu sedikit merubah portet pendidikan anak bangsa ini.
Mengajarkan hal-hal baik dan membentuk karakter yang mulia pada
generas-generasi penerus bangsa ini. Dengan mendidik, kita mampu menjadi
inspirasi bagi anak-anak bangsa. Dan dengan mendidik, kita telah menyiapkan
‘Iron Stock’ selanjutnya bagi bangsa dan negara.
Semoga essay ini mampu memberi
inspirasi. Selamat berjuang, selamat mengemban amanah. Karena menjadi mahasiswa
adalah amanah, dan tiap-tiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban.
-Qumi Lailatul Fajri
![]() |
(Saya dan adik-adik kampung binaan) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar