Sabtu, 08 April 2017

Amanah dan Dosa kita (sebagai Mahasiswa)



 
Melepaskan status siswa mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Memasuki gerbang yang membawa mereka pada status baru, yaitu mahasiswa. Menjadi manusia dengan berbagai warna, tergantung bagaimana memaknainya. Ada yang mengira, hidup seorang mahasiswa hanya tentang jalan-jalan dan nongkrong. Sayangnya mahasiswa ini hanya ada dalam FTV.  Kehidupan dunia perkuliahan yang sesungguhnya sangat jauh dari gambaran yang sering kita lihat di FTV. 

Gelar ‘maha’ yang mengekor dalam status mahasiswa ini turut me-maha-kan pula tanggung jawabnya. Pertanyaannya adalah, tanggung jawab untuk siapa? Tanggung jawab untuk apa? Tentu saja, tanggung jawab utama seorang mahasiswa adalah kepada orang tuanya, yakni belajar. Belajar agar mendapatkan IP bagus, belajar agar lulus tepat waktu, belajar untuk mencari beasiswa, dan belajar untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Lantas, kalau demikian apa bedanya mahasiswa dengan siswa? Maka predikat ‘maha’ tersebutlah yang akan menjawabnya.

Ada sebuah amanah besar dari masyarakat yang harus ditopang oleh tiap-tiap pundak mahasiswa. Amanah tersebut tertuang dalam peran dan fungsi mahasiswa, yakni menjadi Agent of Change, Moral Force, Sosial Control, serta Iron Stock. Peran dan fungsi ini berkaitan pula dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Dimana mahasiswa sebagai kaum intelek dituntut untuk mengabdi kepada masyarakat berbekalkan pendidikan dan penelitian atas disiplin ilmu yang mereka peroleh dari bangku kuliah. Yang kemudian menjadi pertanyaan, sudah sejauh mana kita sebagai mahasiswa mengabdikan diri dan memberikan pengaruh dalam masyarakat?

Mahasiswa –dalam perspektif masyarakat- adalah kaum terdidik yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih nyata kepada lingkungan sekitarnya. Mahasiswa sebagai moral force menuntutnya untuk menjadi manusia dengan integritas tinggi. Mahasiswa sebagai kaum intelek harus mampu menjaga segala hal dalam dirinya, baik dari pemikiran, ucapan, serta tingkah laku. Sebab mahasiswa seolah-olah menjadi ‘role model’ bagi masyarakat. Kenyataannya, mahasiswa saat ini sering lupa bahwa dirinya dijadikan panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Misalkan saja ketika sedang ‘aksi’ turun ke jalan, tujuan yang sesungguhnya mulia namun dibalut dengan tindak anarkisme. Mahasiswa secara tidak sengaja justru menciptakan suatu stigma negative atas dirinya sendiri.  Hal ini sangat bertentangan dengan peran fungsinya sebagai moral force bagi masyarakat.

Mahasiswa sebagai Sosial Control. Idealisme merupakan modal utama yang harus dimiliki mahasiswa sebagai Sosial Control. Mahasiswa dianggap sebagai manusia dengan idealisme yang belum terkotori dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Idealisme dengan tujuan murni untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Idealisme inilah yang kemudian diharapkan mampu menjauhkan bangsa ini dari kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu. Namun yang kita temui justru banyak mahasiswa yang prgamatis dan oportunis. Praktis, mencari keuntungan untuk diri sendiri, dan tidak peduli atas apapun selain dirinya.
Mahasiswa sebagai Iron stock. Menjadi generasi-generasi penerus yang akan mengemban keberlangsungan bernegara. Disini mahasiswa harus jadi manusia dengan integritas tinggi dan memiliki idealisme yang menjunjung tinggi kepentingan masyarakat dan negara diatas kepentingan pribadinya. Cerdas, amanah, serta siap dengan segala kondisi yang akan dihadapi seorang pemegang sistem kenegaraan.
Yang terakhir dalam peran fungsinya, sekaligus yang akan saya bahas secara lebih mendalam adalah mahasiswa sebagai Agent of Change. Mahasiswa sebagai Agent of Change, dimana mahasiswa diharapkan mampu menjadi garda-garda penggagas perubahan. Mahasiswa sangat diharamkan bersikap masa bodo dan tidak peduli terhadap segala dinamika dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika menilik sejarah bangsa ini, berbagai peristiwa besar telah didalangi oleh mahasiswa Indonesia sebagai upaya menuju perubahan bangsa yang lebih baik. Bulan Mei tahun 1998 merupakan masa paling bersejarah bagi mahasiswa Indonesia, dimana seluruh kaum intelek ini bersatu untuk melawan segala ketidakadilan pemerintahan Orde Baru dan membawa Indonesia menuju era reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi. Bandingkan dengan apa yang kita (sebagai mahasiswa) lakukan saat ini? Perjuangan yang kita lakukan tidak perlu menggadaikan nyawa layaknya senior-senior kita di tahun 1998. Tapi masih banyak cendekiawan-cendekiawan bangsa ini yang seolah-olah tutup telinga dari segala permasalahan masyarakatnya. Seolah-olah mereka berkata “aku tidak peduli selama hal itu tidak menguntungkanku”. Padahal negara ini sedang sakit-sakitnya. KKN menggerogoti pemerintahan membuat rakyat dihantam kemiskinan. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar, justru tersendat kemiskinan. Lantas, kita bisa apa? Maka sesungguhnya yang mampu kita lakukan adalah cukup dengan menjadi sedikit lebih peka. Peka untuk menoleh, peka untuk membuka mata, serta peka untuk menajamkan pendengaran atas segala kondisi masyarakat dan bangsa ini. 

Setiap insan mahasiswa dapat memaknai peran dan fungsinya dengan cara yang berbeda namun dengan kewajiban yang sama, yakni mengabdi. Mengabdikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dari dalam kelas untuk menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat.  
Sementara saya memaknai pengabdian tersebut salah satunya adalah dengan pengajaran. “Tapi aku seorang engineer, bukan guru. Tugasku bukan mengajar.” Mungkin kalimat ini akan muncul dalam benak teman-teman sekalian. Bahkan pernah juga muncul dalam benak saya sendiri. Namun perlu diketahui, mendidik tidak bisa disamakan dengan mengajar. Mengajar adalah pekerjaan dan tugas seorang pengajar. Sekedar menyampaikan materi ilmu pengetahuan. Biasanya dilakukan dalam situasi formal, berupa transfer ilmu. Sementara mendidik merupakan serangkaian proses pengembangan potensi dengan menekankan pada nilai-nilai moral dan kepribadian. Mengajar memang bukan tugas kita, tapi mendidik adalah kewajiban bagi setiap manusia, khususnya manusia yang pernah mengenyam pendidikan.

Mengutip perkataan Pak Anies Baswedan bahwa “mendidik adalah kewajiban bagi setiap insan terdidik”. Maka hal ini semakin memperjelas lagi tanggung jawab yang mengekor pada setiap langkah saya sebagai seorang mahasiswa. Karena sesungguhnya mencerdaskan anak bangsa bukan hanya tugas negara dan pemerintah saja. Namun menjadi tanggung jawab moral bagi setiap insan terdidik. Apapun background pendidikan yang kamu ambil, apapun disiplin ilmu yang kamu kuasai, serta apapun bidang yang kamu geluti, selama kamu masih atau pernah menyandang predikat sebagai seorang mahasiswa artinya kamu secara tidak langsung telah mengemban amanah untuk mendidik anak-anak bangsa ini. Terlebih lagi, dengan menjadi mahasiswa artinya kita telah terpilih menjadi bagian istimewa dari sedikit orang Indonesia yang mampu mengecap manisnya bangku kuliah. Sementara potret pendidikan bangsa ini masih sangat memprihatinkan. Jangankan untuk menginjak bangku perguruan tinggi, untuk sekedar sekolah dasar saja masih banyak ketimpangan di berbagai daerah. Gedung sekolah yang reot termakan waktu, akses dan jalan yang sulit ditempuh, serta sedikitnya tenaga pengajar menjadi hambatan tersendiri bagi anak-anak bangsa di wilayah pelosok. Sedangkan di tengah mewahnya kehidupan kota, masih ada anak-anak bangsa yang terpaksa putus sekolah karena keadaan ekonomi keluarga. “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustai?” seharusnya menjadi tamparan tersendiri bagi kita sebagai insan istimewa yang cukup beruntung telah dirangkul pendidikan sampai perguruan tinggi. Maka ribuan anak bangsa yang tidak mampu merasakan manisnya pendidikan di bangku sekolah adalah dosa bagi kita setiap insan terdidik.  Dosa karena tidak menjalankan amanah sebagai insan terdidik dan dosa karena tidak menunjukkan rasa syukur sebagai insan istimewa.

Dengan mendidik, kita mampu menjalankan peran dan fungsi kita sebagai Agent Of Change. Karena dengan tangan sendiri, kita mampu sedikit merubah portet pendidikan anak bangsa ini. Mengajarkan hal-hal baik dan membentuk karakter yang mulia pada generas-generasi penerus bangsa ini. Dengan mendidik, kita mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak bangsa. Dan dengan mendidik, kita telah menyiapkan ‘Iron Stock’ selanjutnya bagi bangsa dan negara.
Semoga essay ini mampu memberi inspirasi. Selamat berjuang, selamat mengemban amanah. Karena menjadi mahasiswa adalah amanah, dan tiap-tiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban.   
-Qumi Lailatul Fajri

(Saya dan adik-adik kampung binaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar