Kamis, 03 November 2016

Ngobrol-Ngobrol Lucu : IKHLAS

Ngobrol-Ngobrol Lucu adalah bentuk tertulis dari diskusi kecil yang sering Qumi lakukan bersama teman-teman. Lebih kepada : apa yang Qumi dapat ambil dari diskusi tersebut. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
IKHLAS 
(Qumi, Verdy, Oji-Kamis, 03 November 2016, Mie Akhirat Mulyosari lantai 2)

"sebenernya kalo kita beramal tu, boleh ngga sih karena kita mengharap pahala?"

Berawal dari pertanyaan yang Oji lempar itu, lahirlah diskusi singkat mengenai "ikhlas" ini. 
Bagi Verdy, mengharap pahala itu sah-sah saja, justru memang segala sesuatu yang kita lakukan semestinya memang untuk tujuan surga. Karena Allah memang sudah menjanjikan pahala dan surga bagi mereka yang beramal. Dan definisi pamrih bagi Verdy, lebih kepada sesuatu yang berwujud, jadi ketika yang kita harapkan itu pahala dan surga yang memang telah dijanjikan Allah, maka memang demikian semestinya. 
Sementara Oji sendiri berpendapat, semestinya kita melakukan segala sesuatu itu agar mendapat ridha Allah, bukan karena ingin mendapat pahala. Ketika "gue beramal biar dapet pahala", artinya masih belum ikhlas/ masih pamrih, dan itu ngga baik. Alangkah baiknya ketika kita beramal, tanpa mengharapkan balasan sama sekali, karena sesungguhnya yang kita cari adalah ridha Allah. 

Sementara bagiku, ikhlas itu kadarnya tidak jelas seperti apa. Ikhlas itu yang tau cuman diri kita sendiri dan Allah. Maka ketika kita melakukan suatu amal, apapun niat yang ada dalam hati kita, ya itu lebih baik daripada kita tidak beramal. Toh yang tahu amal kita dihitung sebagai pahala atau tidak hanya Allah lillahi ta'ala. Alhamdulillah ketika amal itu dihitung sebagai pahala, namun ketika (mungkin) amal itu tidak diterima karena niat yang keliru (belum ikhlas, dll) semoga masih membawa kebermanfaatan lain (Amiin). 
Ibaratnya kita berpuasa, kita tidak tahu apakah puasa kita dihitung sebagai ibadah atau tidak (ada puasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga saja, karena satu dan lain hal). Tapi masih lebih baik kan daripada tidak berpuasa? Setidaknya kita berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Syukur alhamdulillah ketika kita sudah bisa ikhlas Lillahi ta'ala dalam menjalankan segala sesuatunya.  

Seringkali kita tahu, ada teman yang beramal namun dia memberitahukan hal tersebut pada orang lain. Bukankah ini riya'? Wallahu a'lam. Bisa saja niatnya bukan untuk pamer, namun tanpa sengaja dia memberitahu orang lain.
Alangkah lebih baik jika 'tangan kanan memberi, tangan kiri tidak tahu'.  
Tapi kembali lagi, ikhlas ini abu-abu, hanya diri kita sendiri dan Allah yang tahu. Dan memang harus saya akui, melakukan sesuatu hanya untuk meraih Ridha Allah tanpa mengharap pahala dan surga sangatlah sulit bagi saya. 

Karena kita tidak pernah tahu amal mana yang akan membawa kita ke surgaNya, setidaknya kita harus senantiasa berusaha. 


Mari belajar ikhlas, mari kita niatkan segala sesuatunya Lillahi ta'ala, semoga Allah memberi ridha-Nya. Amin.


Ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas, yang di dalamnya tidak ada kata ikhlas.

Selasa, 01 November 2016

Toleransi : Jamur-jamur kecil yang masih mengakar

Sedikit resah, organisasiku yang sakit tak kunjung sembuh.
Padahal obat-obatnya sudah ada, mulai dari Piagam Elbud, pemahaman akan hakikat berorganisasi, pencerdasan mengenai landasan organisasi (AD/ART) dan obat-obat luar biasa lain yang telah ter-'pikir'-kan.
Dulu saya kira, penyakitnya berat, fundamental. Baru-baru ini saya sadar, ternyata penyakitnya ringan, tapi sudah komplikasi, menumpuk, menggunung!
.
.
.
Lagi-lagi "toleransi" itu dihadirkan kembali, dengan dalih "biar diselesaikan dulu", "menghargai departemen X", "nanggung bentar lagi kelar", dan lain-lain, dan lain-lain.
Bukan masalah siapa tidak menghargai siapa, tapi ini lebih kepada perkara tidak menghargai perjanjian forum.
Takutnya, hal-hal demikian akan tetap berulang ke depannya. Lahir dari toleransi-toleransi kecil-kecilan, bisa mundur berbulan-bulan. Karena apa? Ya karena mindset "ngga apa-apa 5 menit aja" sudah terlanjur mendarah daging dan menggunung sampai-sampai 5 menit itu belipat ganda menjadi sekian menit, sekian jam, bahkan sekian hari.
Takutnya, apa yang sudah disepakati di awal, tiba-tiba saja diubah di akhir, dan anehnya 'penonton' diam saja! Oh iya, 'kan memang hanya PENONTON.



Sedikit opini dari saya, penonton yang resah. Ya, sayangnya saya juga hanya penonton. Meskipun ada resah dalam batin saya, tapi saya masih penonton.
Yang mampu penonton ini berikan hanyalah doa, semoga organisasiku lekas sembuh dan menebar kebermanfaatan selayaknya dia semestinya tercipta. Amin.