Jumat, 01 Juli 2016

Menjadi Semestamu



Ada nyaman yang membuatku bimbang,
Maka jangan membuatku semakin nyaman.

Aku juga ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti bait-bait cinta Sapardi yang kerap ku temui. Nyatanya tak bisa, aku selalu mencintaimu dengan luar biasa. Bukan dengan sekedar doa yang terlantun lima kali sehari, namun dengan segenap raga dan segala yang ku punya. Aduh Sayang, senyummu teramat manis, memikatku dengan magis. Tawamu renyah, ajaibnya mampu mengubah mendungku jadi cerah. Lalu bagaimana aku bisa mencintaimu dengan sederhana?

Menarik,  bagaimana ajakan makan siang mampu jadi candu yang ingin terus ku ulang? Bagimu mungkin sederhana, sekedar 20 menit yang tak berarti apa-apa, namun bagiku istimewa. Alih-alih mengucap doa sebelum makan, aku justru merapal harap “semoga aku menjadi teman makan siang sepanjang sisa umurmu”. Harap ini-pun tetap ku semogakan saat menemanimu makan malam dan berbuka puasa, tentu saja dengan lirik yang berbeda.

Kamu mungkin tidak pernah paham, segala pintamu selalu kuusahakan. Kalau kamu ingat, aku tidak pernah sekalipun menolak menolongmu, bahkan selalu kutawarkan bantuan. Tidak, Sayang, kamu tidak merepotkan, kamu justru membuatku merasa di butuhkan. Dan anehnya, bisa dibilang aku senang. 

Sesekali boleh kau coba menjadi diriku, yang seketika melambung ke angkasa ketika tiba-tiba kamu bertanya “Lagi dimana? Butuh temen ngobrol nih”. Biar kau tahu rasanya jatuh cinta dengan pangeran yang kelewat sempurna. Bukan perkara melambungnya, tapi jatuhnya.

Coba ingat, berdua terbaring di pasir di bawah hamparan langit penuh bintang. Kalau tidak salah kamu bercerita tentang gadismu dan aku bercerita tentang laki-laki masa laluku. Segalanya masih baik-baik saja malam itu, tanpa rasa cemburu, tanpa embel-embel mencintaimu. Malam yang romantis itu, kini justru jadi satu benih rindu dalam segila-gilanya pikiranku.

Lagi-lagi satu benih lain tertanam, saat dengan idiotnya kita bermain menghitung. Kamu dengan berapa banyak motor hitam dan aku dengan berapa banyak motor merah, yang lewat di depan Indomaret tempat kita mengistirahatkan lelah. Aku rindu.

Ngantuk-pun ku tahan, meski jamku sudah terlampau kelewat untuk istilah ‘tidur malam’. Waktu itu pukul 1 dini hari, dan kamu sedang butuh teman untuk berdiskusi. Aku harap lain kali alasannya : kamu sedang ingin ku temani.

Bagaimana mungkin aku tidak istimewa dalam hidumu? Kalau nyatanya aku orang yang kamu ajak ke toko buku. Kalau nyatanya aku orang yang selalu kamu mintai pendapat untuk segala sesuatu. Kalau nyatanya aku orang yang dapat tugas mulia untuk membangunkan sahurmu.  
 
Aku ingin sepihak saja menyalahkanmu atas segala rasa yang telah kamu semai. Dengan sangat tidak bijaksana, terlalu banyak waktu yang ku bunuh untuk mengagumi pesonamu. Sebab seteguk kopi yang kamu bagi denganku. Sebab ice cream yang telah ku janjikan padamu. Sebab dua tiket bisokop. Sebab pernyataanmu “aku pingin makan masakan padang”. Sebab hal-hal kecil semacam itulah yang ternyata sangat mengusik ingatanku akan dirimu. 

Mungkin aku kelewat peka, atau berlebihan dalam mengartikannya. Coba terangkan, salahnya dimana kalau aku merasa istimewa ketika kamu tiba-tiba ngirim foto janin lalu bilang “bentar lagi aku punya ponakan…” atau di sela obrolan perjalanan kita tiba-tiba kamu bilang “Aku habis di telfon ayah, katanya kangen…” Seolah-olah aku penting bagimu, seolah-olah aku perlu tahu segala kabar baik yang kamu terima, seolah-olah aku telah menjadi bagian dari semestamu. 

Dan seolah-olah tak pernah cukup bagiku, pun seolah-olah tak pernah mampu membuatku bicara. Karena kamu yang kelewat sempurna sudah pasti tak mampu ku jangkau dengan “semangat uas” atau “jangan lupa makan”  pun dengan “Tidur gih, istirahat”. 

Aku tetap diam. Berharap dengan sendirinya kamu akan paham. Bahwa bukan hanya makan siang, aku ingin menemanimu sepanjang perjalanan. Aku ingin memasak nasi pulen kesukaanmu, yang pecah dan tidak lengket. Aku ingin membangunkan subuhmu. Aku ingin menemani dhuha dan tahajudmu.  Aku ingin benar-benar menjadi bagian dari semestamu.

Aku ingin “jodoh terbaik adalah sahabat sendiri” menjadi tajuk kisah kita nanti.

Dari wanita yang berjanji akan bertepuk tangan paling kencang buatmu
dan berdiri paling depan untuk mendukungmu.
Aku rindu.