Jumat, 15 Januari 2016

catatan perjalanan : Ilmu tak hanya dari buku



Aku seorang mahasiswa semester 3 Teknik Elektro ITS. Aku berasal dari kampung di tepian selatan Jawa Timur. Berada di sebelah barat daya Surabaya dan berjarak 5 jam perjalanan dengan bis maupun kereta dari kota pahlawan itu. Kuliah jauh dari kampung halaman membuatku sering bolak balik melakukan perjalanan. Seringnya naik kereta, beberapa kali juga naik bis. Semua perjalanan menyimpan ceritanya masing-masing.  
Awal juni kemaren aku dan adik kelasku (Evrima) naik bus, teman perjalanan kami seorang wanita yang kuperkirakan umurnya 2 tahun dibawahku. Celananya belel, kaosnya ketat, pakai sandal jepit, rambutnya diwarna pirang, dan dia tidak membawa apapun selain sebatang rokok. Perkenalan kami tidak terlalu menyenangkan. Tapi aku tau, orang seperti ini harus diperlakukan dengan sangat sopan dan baik. Maka akhirnya kami ngobrol, sambil tetap focus ku jaga semua barang bawaanku. Bukannya suudzon, tapi menjaga diri itu perlu kan? Ternyata tujuan kami sama, terminal Purabaya. Dia memang asli Surabaya.  Selama perjalanan yang cukup panas itu, dia yang mendominasi obrolan, sementara aku dan Ev hanya bicara kalau memang diperlukan. Dari ceritanya, aku tau dia menempuh pendidikan hanya sampai kelas 2 smp, karena “kecelakaan” akhirnya harus berhenti. Sekarang anak perempuannya berumur 6 bulan. Dengan raut bahagia, dia bilang anaknya cantik dan putih, tidak seperti dia. Kini anaknya tinggal dengan budhenya, dan dia berencana tetap menitipkan anaknya disana. Dia juga ingin kelak anaknya dipondokkan agar tidak tumbuh seperti dia. Setelah cerita panjang lebar, kini aku mulai tau sedikit karakternya. Dari dia juga aku sedikit tahu tentang kehidupan pengamen jalan, rumah-rumah di tepi rel kereta, bahkan tentang PSK.
Sisa perjalanan itu kami habiskan dengan mengistirahatkan diri. Dari wanita ini, aku belajar bahwa hidup tidak selalu menyenangkan. Dan bahwa seburuk apapun orang, dia akan selalu berharap anaknya menjadi orang baik. Bahkan kata-kata ini muncul dari seorang wanita nakal, yang juga perokok berat. Karna sesungguhnya, fitrah manusia adalah menjadi baik, sebab tiap-tiap insan memiliki hati nurani.
Pernah juga, ketika aku bepergian sendiri naik kereta, teman perjalananku seorang ibu-ibu muda yang ternyata mantan TKW. Dan seorang laki-laki pengusaha toko optic. Ibu-ibu ini punya seorang anak perempuan yang baru kelas 7 smp. Anak yang menurutnya nakal dan susah diatur. Sebelumnya dia bekerja di Malaysia sebagai buruh di rumah makan. Sekarang ia bekerja sebagai reseller barang kredit. Jadi dia sebagai perantara orang-orang yang ingin mengkredit barang apapun. Dia bercerita suka-dukanya pekerjaan yang ia tekuni. Terkadang orang-orang sedikit susah ketika ditagih, bahkan ada yang nunggak beberapa kali. Sedangkan pengusaha optic ini dulunya juga TKI di Malaysia. Mereka berdua bercerita padaku bagaimana kehidupan mereka ketika masih menjadi TKI. Obrolan mulai berganti topic ke masalah keluarga. Ternyata ibu muda yang tidak kuketahui namanya tersebut kini seorang janda. Dia dan suaminya belum lama bercerai. Sedangkan pengusaha optic ini punya dua istri. Istri yang pertama berada di Surabaya, dan mempunya dua anak. Sementara istri keduanya berada di Kalimantan. Dari pernikahan siri dengan istri kedua, dia mempunyai satu anak. Ternyata pernikahan yang kedua ini merupakan hasil dari perselingkuhan selama dia bekerja di Malaysia. Namun kini istri pertamanya sudah tahu, dan melarang suaminya kembali ke Malaysia. Dari situlah dia akhirnya menjadi pengusaha. Dari mereka berdua, aku tahu bahwa rumah tangga selalu punya cerita duka masing-masing. Pernikahan seharusnya sesuatu yang sakral dan harus dijaga, tetapi kenyataannya mungkin karena kesalahan satu atau dua pihak, pernikahan tersebut berujung perceraian. 
Satu lagi kisah perjalanan yang mungkin tidak akan pernah bisa kulupa. Tanggal 29 Juli, ketika aku melakukan perjalanan untuk pulang ke Tulungagung menggunakan kereta api, teman dudukku seorang remaja perempuan persama ayahnya. Dan di depan kursi kami ada seorang bapak-bapak paruh baya, juga seorang mas-mas yang kuperkirakan umurnya akhir 20 an. Awalnya semua berjalan biasa, untuk mengatasi kebosanan aku melanjutkan merajut amigurumi tanpa memperdulikan apa yang dilakukan temen-teman perjalannanku. Ketika kereta baru smapai daerah Mojokerto, seorang lelaki yang kuperkirakan umurnya sekitar 47 tahun menghampiri tempat kami. Dia ingin meminjam charger HP. akhirnya mas-mas didepanku yang memberikan pinjaman. Percakapan awalnya tentang Universitas Da**l Ul*m yang sempat ditutup Karena isu ijasah palsu. Ternyata bapak ini dulunya kuliah disana, jurusan hukum. Bapak paruh baya yang tadinya tidur kini mulai bergabung dalam percakapan tersebut. Dia bercerita bahwa kasus ijasah palsu tersebut mungkin hanya bisa digunakan untuk mendaftarkan diri bekerja di bank, itupun tidak bisa digunakan untuk naik jabatan. Aku mendengarkan dengan seksama percakapan tiga laki-laki tersebut. Bapak paruh baya itu juga sempat memberi tips ketika sedang interview maupun tes tulis kerja. Percakapan tersebut didominan oleh bapak paruh baya, yang ternyata dulunya bekerja di bank.  Obrolan mengalir begitu saja, membahas tentang koruptor, anak istri yang kemudian makan dari uang haram tersebut, pasti juga tidak akan membawa berkah. Beliau berkata apabila anak bertingkah laku buruk, itu merupakan kesalahan orang tua. Sebab apa yang diberikan, dari mana uang yang digunakan untuk makan, omongan-omongan apa saja yang telah didongengkan, semuanya akan berdampak pada karakter anak.  
Obrolan menjadi sangat menarik ketika bapak yang tadi meminjam charger mulai bercerita tentang kehidupannya. Yaitu tentang istri dan anaknya. Anak sulungnya kuliah semester 5 di Un**r. Si bapak bercerita bahwa hubungannya dengan sang istri tidak harmonis, bahkan sejak awal pernikahan. Menurut bapak, hal ini karena memang mereka adalah produk perjodohan. Bahkan si Bapak sampai mengecek weton sang istri. Yang paling membuatku tersentak, sang istri selalu bicara kepada anak-anaknya “Bapakmu ini nggak berguna”. Hal itu menjadi sarapan pagi dan dongeng malam bagi sang anak-anak (kalau tidak salah jumlahnya 3). Akhirnya, si anak pun tak punya hormat pada sang Bapak. Bahkan si anak sulung pernah berkata pada sang Bapak “Kon iku ngaliho, nggak guna dadi Bapakku!” Astagfirullah. Aku ikut merasakan sedih (sakit, dan marah juga) mendengar cerita Bapak. (aku sampai menitikan air mata lho…) Karma Allah memang ada, 2 minggu setelahnya, si sulung kehilangan motornya. Namun kasian Bapak, lagi-lagi beliau yang harus menanggungnya. Bagaimanapun sulung, dia tetaplah anak. Yang padanya tetap ada sejuta harapan sang bapak.
Mungkin cerita dan kisah perjalanan hari itu menjadi salah stau yang tak terlupakan. Betapa adilnya Allah, karena setiap perbuatan akan ada balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Dari apa yang kita perbuat, makan dan pikirkan akan membawa pengaruh pada diri kita. Berbanyak-banyaklah istighfar Qum!
See? Belajar bukan hanya tentang membaca. Ilmu tak melulu datang dari buku. Belajar tidak hanya dari bangku kuliah, pelajari juga kuliah kehidupan yang dijalani. Bahkan dari seorang penzinapun ada ilmu yang mampu kita pelajari.
“Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga liang lahat”