Aku seorang mahasiswa semester 3 Teknik Elektro ITS. Aku
berasal dari kampung di tepian selatan Jawa Timur. Berada di sebelah barat daya
Surabaya dan berjarak 5 jam perjalanan dengan bis maupun kereta dari kota
pahlawan itu. Kuliah jauh dari kampung halaman membuatku sering bolak balik
melakukan perjalanan. Seringnya naik kereta, beberapa kali juga naik bis. Semua
perjalanan menyimpan ceritanya masing-masing.
Awal juni kemaren aku dan adik kelasku (Evrima) naik bus,
teman perjalanan kami seorang wanita yang kuperkirakan umurnya 2 tahun
dibawahku. Celananya belel, kaosnya ketat, pakai sandal jepit, rambutnya
diwarna pirang, dan dia tidak membawa apapun selain sebatang rokok. Perkenalan
kami tidak terlalu menyenangkan. Tapi aku tau, orang seperti ini harus diperlakukan
dengan sangat sopan dan baik. Maka akhirnya kami ngobrol, sambil tetap focus ku
jaga semua barang bawaanku. Bukannya suudzon, tapi menjaga diri itu perlu kan?
Ternyata tujuan kami sama, terminal Purabaya. Dia memang asli Surabaya. Selama perjalanan yang cukup panas itu, dia
yang mendominasi obrolan, sementara aku dan Ev hanya bicara kalau memang
diperlukan. Dari ceritanya, aku tau dia menempuh pendidikan hanya sampai kelas
2 smp, karena “kecelakaan” akhirnya harus berhenti. Sekarang anak perempuannya
berumur 6 bulan. Dengan raut bahagia, dia bilang anaknya cantik dan putih,
tidak seperti dia. Kini anaknya tinggal dengan budhenya, dan dia berencana
tetap menitipkan anaknya disana. Dia juga ingin kelak anaknya dipondokkan agar
tidak tumbuh seperti dia. Setelah cerita panjang lebar, kini aku mulai tau
sedikit karakternya. Dari dia juga aku sedikit tahu tentang kehidupan pengamen
jalan, rumah-rumah di tepi rel kereta, bahkan tentang PSK.
Sisa perjalanan itu kami habiskan dengan mengistirahatkan
diri. Dari wanita ini, aku belajar bahwa hidup tidak selalu menyenangkan. Dan
bahwa seburuk apapun orang, dia akan selalu berharap anaknya menjadi orang
baik. Bahkan kata-kata ini muncul dari seorang wanita nakal, yang juga perokok
berat. Karna sesungguhnya, fitrah manusia adalah menjadi baik, sebab tiap-tiap
insan memiliki hati nurani.
Pernah juga, ketika aku bepergian sendiri naik kereta, teman
perjalananku seorang ibu-ibu muda yang ternyata mantan TKW. Dan seorang laki-laki
pengusaha toko optic. Ibu-ibu ini punya seorang anak perempuan yang baru kelas
7 smp. Anak yang menurutnya nakal dan susah diatur. Sebelumnya dia bekerja di
Malaysia sebagai buruh di rumah makan. Sekarang ia bekerja sebagai reseller
barang kredit. Jadi dia sebagai perantara orang-orang yang ingin mengkredit
barang apapun. Dia bercerita suka-dukanya pekerjaan yang ia tekuni. Terkadang
orang-orang sedikit susah ketika ditagih, bahkan ada yang nunggak beberapa
kali. Sedangkan pengusaha optic ini dulunya juga TKI di Malaysia. Mereka berdua
bercerita padaku bagaimana kehidupan mereka ketika masih menjadi TKI. Obrolan
mulai berganti topic ke masalah keluarga. Ternyata ibu muda yang tidak
kuketahui namanya tersebut kini seorang janda. Dia dan suaminya belum lama bercerai.
Sedangkan pengusaha optic ini punya dua istri. Istri yang pertama berada di
Surabaya, dan mempunya dua anak. Sementara istri keduanya berada di Kalimantan.
Dari pernikahan siri dengan istri kedua, dia mempunyai satu anak. Ternyata
pernikahan yang kedua ini merupakan hasil dari perselingkuhan selama dia
bekerja di Malaysia. Namun kini istri pertamanya sudah tahu, dan melarang
suaminya kembali ke Malaysia. Dari situlah dia akhirnya menjadi pengusaha. Dari
mereka berdua, aku tahu bahwa rumah tangga selalu punya cerita duka
masing-masing. Pernikahan seharusnya sesuatu yang sakral dan harus dijaga,
tetapi kenyataannya mungkin karena kesalahan satu atau dua pihak, pernikahan
tersebut berujung perceraian.
Satu lagi kisah perjalanan yang mungkin tidak akan pernah
bisa kulupa. Tanggal 29 Juli, ketika aku melakukan perjalanan untuk pulang ke
Tulungagung menggunakan kereta api, teman dudukku seorang remaja perempuan
persama ayahnya. Dan di depan kursi kami ada seorang bapak-bapak paruh baya,
juga seorang mas-mas yang kuperkirakan umurnya akhir 20 an. Awalnya semua
berjalan biasa, untuk mengatasi kebosanan aku melanjutkan merajut amigurumi
tanpa memperdulikan apa yang dilakukan temen-teman perjalannanku. Ketika kereta
baru smapai daerah Mojokerto, seorang lelaki yang kuperkirakan umurnya sekitar
47 tahun menghampiri tempat kami. Dia ingin meminjam charger HP. akhirnya
mas-mas didepanku yang memberikan pinjaman. Percakapan awalnya tentang
Universitas Da**l Ul*m yang sempat ditutup Karena isu ijasah palsu. Ternyata
bapak ini dulunya kuliah disana, jurusan hukum. Bapak paruh baya yang tadinya
tidur kini mulai bergabung dalam percakapan tersebut. Dia bercerita bahwa kasus
ijasah palsu tersebut mungkin hanya bisa digunakan untuk mendaftarkan diri
bekerja di bank, itupun tidak bisa digunakan untuk naik jabatan. Aku
mendengarkan dengan seksama percakapan tiga laki-laki tersebut. Bapak paruh
baya itu juga sempat memberi tips ketika sedang interview maupun tes tulis
kerja. Percakapan tersebut didominan oleh bapak paruh baya, yang ternyata
dulunya bekerja di bank. Obrolan
mengalir begitu saja, membahas tentang koruptor, anak istri yang kemudian makan
dari uang haram tersebut, pasti juga tidak akan membawa berkah. Beliau berkata
apabila anak bertingkah laku buruk, itu merupakan kesalahan orang tua. Sebab
apa yang diberikan, dari mana uang yang digunakan untuk makan, omongan-omongan
apa saja yang telah didongengkan, semuanya akan berdampak pada karakter anak.
Obrolan menjadi sangat menarik ketika bapak yang tadi
meminjam charger mulai bercerita tentang kehidupannya. Yaitu tentang istri dan
anaknya. Anak sulungnya kuliah semester 5 di Un**r. Si bapak bercerita bahwa
hubungannya dengan sang istri tidak harmonis, bahkan sejak awal pernikahan.
Menurut bapak, hal ini karena memang mereka adalah produk perjodohan. Bahkan si
Bapak sampai mengecek weton sang istri. Yang paling membuatku tersentak, sang
istri selalu bicara kepada anak-anaknya “Bapakmu ini nggak berguna”. Hal itu
menjadi sarapan pagi dan dongeng malam bagi sang anak-anak (kalau tidak salah
jumlahnya 3). Akhirnya, si anak pun tak punya hormat pada sang Bapak. Bahkan si
anak sulung pernah berkata pada sang Bapak “Kon iku ngaliho, nggak guna dadi
Bapakku!” Astagfirullah. Aku ikut merasakan sedih (sakit, dan marah juga) mendengar
cerita Bapak. (aku sampai menitikan air mata lho…) Karma Allah memang ada, 2
minggu setelahnya, si sulung kehilangan motornya. Namun kasian Bapak, lagi-lagi
beliau yang harus menanggungnya. Bagaimanapun sulung, dia tetaplah anak. Yang
padanya tetap ada sejuta harapan sang bapak.
Mungkin cerita dan kisah perjalanan hari itu menjadi salah
stau yang tak terlupakan. Betapa adilnya Allah, karena setiap perbuatan akan ada
balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Dari apa yang kita perbuat, makan dan
pikirkan akan membawa pengaruh pada diri kita. Berbanyak-banyaklah istighfar
Qum!
See? Belajar bukan hanya tentang membaca. Ilmu tak melulu
datang dari buku. Belajar tidak hanya dari bangku kuliah, pelajari juga kuliah
kehidupan yang dijalani. Bahkan dari seorang penzinapun ada ilmu yang mampu
kita pelajari.
“Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga liang lahat”